ads

Jumat, 12 Maret 2010

Agama Lokal Indonesia Kalah Saing

Indonesia, sebagai bangsa berperadaban, telah memiliki agama dan kepercayaan jauh sebelum agama-agama besar datang dari Barat dan Timur Tengah. Tapi dalam perkembangannya, agama dan kepercayaan lokal tersebut makin tersingkir dan tidak diakui keberadaannya.
Hingga kini, para penganut kepercayaan lokal ini terus berjuang memertahankan keyakinannya di bumi nusantara. Mereka prihatin akan kondisi keberamaan di Indonesia, yang justru didominasi oleh agama-agama impor. Departemen Agama sendiri enggan menaungi aliran-aliran kepercayaan atau yang di dunia Barat sering disebut New Religions Movement ini. Para penganut aliran kepercayaan tersebut harus puas berada di bawah naungan Departemen Pariwisata Republik Indonesia.
Kondisi ini membuat berbagai pelayanan hak sipil mereka terbatasi. Misalnya, mereka tak bisa mencantumkan status keyakinannya di KTP, tak bebas melakukan ritual sesuai keyakinan dan sebagainya.
Pada tahun 1955, sekitar 2000 peserta yang berasal dari 70 aliran kebatinan asli Indonesia berkumpul di Semarang dan membentuk Federasi Kebatinan Indonesia. Dalam pertemuan itu, mereka mencoba mencari devinisi terhadap keyakinan mereka itu.
Tapi karena beragamnya pandangan dari peserta dan aliran itu, mereka tak kunjung menuai sepakat. Sebab itu, diputuskanlah sebuah semboyan dari bahasa Jawa untuk mewakili ketujuh puluh aliran tersebut. Semboyan itu ialah, “Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe, Mamayu Hayuning Bawana” (Sepi dari pamrih, Giat bekerja/gotong royong, Ingin menyejahterakan dunia).
Namun sepertinya, devinisi ini hanya reaksi atas agama-agama resmi, yang sedang ramai memerebutkan kursi kekuasaan. Setahun kemudian, FKI mengganti sebutan itu sebagai “Sumber asas dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mencapai budi luhur dan kesempurnaan hidup”.
Dengan divinisi ini, mereka mengklaim aliran kebatinan merupakan awal atau dasar dari seluruh agama-agama yang terinstitusi, seperti Islam, Kristen dan sebagainya. Klaim itu dibantah HM Rasyidi dengan pertanyaan, “Mana yang lebih dulu antara Islam dan Tasawuf? Tentu saja Islam.”
Tak jelas, apakah para pembesar aliran kepercayaan merespon pernyataan Menteri Agama RI pertama itu. Tapi, bila melihat sejarah, sebelum menyebarkan Islam Muhammad menerima wahyu setelah ber’uzlah di Goa Ghira. Itu artinya, pernyataan Rasyidi terbantahkan dalam konteks Islam.
Secara formal, aliran kepercayaan ini didefinisikan sebagai “Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.” Tapi keberadaannya di luar agama-agama besar. Di barat, eksistensi mereka sebagai New Relligions Movement makin mendapat tempat. Masyarakat Barat saat ini lebih mudah menerima spiritualitas tanpa agama. Mereka muak dengan agama yang selalu membawa sentimen bernuansa politik. Hal ini mereka ungkapkan dalam sebuah semboyan “Spiritual Yes, Relligion No!!! [MSW]

Jumat, 26 Februari 2010

Satuan Analisis dalam Morfologi: Leksem

Artikel disumbangkan oleh Demakyun

Definisi paling umum dari leksem adalah “dictionary words” (Bauer 1988: 8 dan Haspelmath 2002: 13) atau, seperti dikutip oleh Katamba (1993: 18) dari Di Scuillo dan Williams (1987), kata yang tertulis dalam kamus. Lebih jauh lagi, Lyons (1968: 403) mendefinisikan leksem sebagai satuan dasar dalam sintaksis dan semantik, yaitu satuan yang lebih abstrak dibandingkan dengan bentuk inflektifnya yang terdapat dalam suatu keseluruhan kalimat (Lyons 1968: 179). Namun sebaliknya, penulisan leksem dalam kamus Arab dimulai dengan bentuk kala lampau dengan persona ketiga tunggal maskulin, misalnya KATABA ‘ia (laki-laki) telah menulis’ untuk leksem MENULIS (Haspelmath 2002: 14). Senada dengan Lyons, Bauer (1988: 17) dan Haspelmath (2002: 13) menyatakan bahwa leksem merupakan kosakata abstrak, yaitu bentuk umum, atau bisa jadi asal, yang dapat diasosiasikan dengan seluruh word-form-nya (Bauer 1988: 8) sebagai bentuk yang digunakan dalam teks atau text word (Haspelmath 2002: 13). Contoh:
(1) a. He goes to the market
b. I go to the market
c. I went to the market yesterday
d. He has gone
bentuk goes, go, went, dan gone merupakan realisasi dari leksem GO, dan sebagai sebuah kesatuan, seperangkat word-form tersebut dinamakan lexemic paradigm (Haspelmath 2002: 14). Dalam bahasa Indonesia, hubungan tersebut dapat dilihat dalam kata seperti berjalan, menjalani, menjalankan, dijalani, dan perjalanan sebagai perwujudan leksem JALAN (Dik dan Kooij 1979: 154).
Leksem sebagai bentuk abstrak dari word-form menurut Stump (1998), dalam Spencer dan Zwicky (1998: 13), merupakan satuan dalam analisis linguistik yang hanya memiliki sebagian kategori sintaksis, sebagian makna dan fungsi gramatikalnya, dan biasanya dapat hadir sebagai kata tunggal dalam kombinasi sintaksis tertentu. Dengan demikian, selain dapat dibedakan dari word-form, leksem juga dapat dibedakan dari kata gramatikal sebagai bentuk yang dilihat dari aspek deskriptifnya ketimbang bentuknya (Bauer 1988: 9) atau bentuk yang berhubungan dengan sifat morfo-sintaksisnya (Katamba 1993: 19), dalam contoh di bawah ini dapat kita lihat:
(2) a. Lee walked home.
b. lee went home.
(3) a. Lee has walked home.
b. lee has gone home.
word-form walked yang terdapat dalam kalimat (2a) dan (3a) merupakan realisasi dari leksem WALK. Namun, walked dalam kedua kalimat di atas tidak persis sama, seperti dapat kita lihat ketika kita membandingkan went dan gone dalam kalimat (2b) dan (3b) yang merupakan perwujudan atas leksem yang sama, GO. Dalam kalimat (2a), walked merealisasikan walk + past tense, sedangkan dalam kalimat (3a) walk + past participle. Kita dapat mengatakan bahwa walked dalam (2a) dan (3a) merupakan kata yang berbeda (different words), meskipun keduanya merupakan word-form yang sama dan merealisasikan leksem yang sama. Kita dapat mengatakan bahwa kata tersebut merupakan grammatical words yang berbeda. Selengkapnya ...